Paper Pendidikan Kwarganegaraaan tentang Autisme
PENGATURAN HAK ASASI MANUSIA
TERHADAP ANAK YANG MENGIDAP AUTISME
SESUAI PASAL 28 B AYAT 2 UUD 1945
Dosen
Pengampu : Koesoemadji, S. H., M.Si
Mata
kuliah : pendidikan Kwarganegaraaan
Disusun oleh :
Risalatul
Hidayah (1507016042)
Dyah
Isnaini (1507016047)
Muhammad
Usman Asyi’ari (1507016056)
Annisa
Umi Latifah (1507016065)
Aqil
mufid (1501076072)
PSIKOLOGI
FAKULTAS
PSIKOLOGI DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
PENGATURAN HAK ASASI MANUSIA
TERHADAP ANAK YANG MENGIDAP AUTISME
SESUAI PASAL 28 BAYAT 2 UUD
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Sering timbul kekuatiran jika anak terlambat
bicara atau bertingkah laku tidak lazim, apakah anak menderita autisme. Kata
autisme saat ini sering kali diperbincangkan, angka kejadian ini di seluruh
dunia terus meningkat. Banyak penyandang autisme terutama yang ringan masih
tidak terdeteksi dan bahkan sering mendapatkan diagnosa yang salahatau bahkan
terjadi overdiagnosis, hal tersebut tentu saja sangat merugikan anak.
Memiliki anak yang menderita autis memang
berat. Anak penderita autis seperti seorang yang kerasukan setan. Selain tidak
mampu bersosialisasi, penderita tidak dapat mengendalikan emosinya. Kadang
tertawa terbahak, kadang marah tak terkendali. Dia sendiri tidak mampu
mengendalikan dirinya sendiri dan memiliki gerakan-gerakan aneh yang selalu
diulang-ulang. Selain itu dia punya ritual sendiri yang harus dilakukannya pada
saat-saat atau kondisi tertentu.
Faktor genetikdianggap sebagai satu-satunya
penyebab autisme sehingga penderitanya dianggap tidak bisa disembuhkan namun
bukti-bukti yang sekarang muncul menunjukkan ada peluang untuk penyembuhan
karena gangguan itu tidak hanya dipengaruhi oleh faktor genetik melainkan juga
dipengaruhi faktor lingkungan.
2.
Rumusan Masalah
a. Apa Pengertian Autisme ?
b. Apa Pasal-Pasal yang Sesuai Dengan
Autisme ?
c. Bagaimana Tindak Pidana yang Dilakukan
Anak Autisme ?
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Autisme
Autisme berasal
dari bahasa Yunani, yaitu autos yang artinya diri yang tidak berdaya. Menurut
Kamus Lengkap Psikologi J.P Chaplin (2001), ada tiga pengertian autisme:
1.
cara berpikir yang dikendalikan oleh kebutuhan
personal atau diri sendiri.
2.
menanggapi dunia berdasarkan penglihatan dan
harapan sendiri dan menolak realitas.
3.
keasyikkan ekstrim dengan pikiran dan fantasi
sendiri. [1]
Autisme adalah gangguan perkembangan pervasif
pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang
kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial.[2]Autismejuga merupakan sebuah sindrom
gangguan perkembangan sistem saraf pusat yang ditemukan pada sejumlah anak
ketika masa kanak-kanak hingga masa sesudahnya. Ironisnya, sindrom tersebut
membuat anak-anak yang menyandangnya tidak tidak mampu menjalin hubungan sosial
secara norman bahkan tidak mampu untuk menjalin komunikasi dua arah.
Autisme dapat disandang oleh seluruh anak dari berbagi tingkatan sosial
dan budaya. Hasil survei yang diambil dari beberapa negara menunjukkan bahwa
2-4 anak per 10.000 anak peluang menyandang Autisme dengan rasio perbandingan
3:1 untuk anak laki-laki dan perempuan. Dengan kata lain, anak laki-laki lebih
rentan menyandang sindrom Autisme dibandingkan dengan anak perempuan. [3]
Gangguan perilaku yang diperlihatkan oleh sebagian besar anak Autisme berupa
rasa gelisah, menyakiti diri sendiri, hiperaktif, hingga kesulitan dalam
mengendalikan keingian untuk buang air. Adapun gangguan umum yang kerap
dihadapi oleh orang tua atas anak perderita Autisme adalah reaksi emosional
yang sangat buruk. Keburukan reaksi emosional itu pada tampilan perilaku anak
Autisme yang cenderung merusak benda-benda disekitarnya. Dalam hal ini banyak
anggapan bahwa anak autisme identik dengan perilaku hiperaktif dan agresif.
Penyebab Autisme belum diketahui secara pasti.
Beberapa ahli menyebutkan Autisme merupakan kelainan genetik yang mengakibatkan
gangguan fungsional susunan saraf pusat yang disertai gangguan kerusakan pada
saluran cerna. Keadaan itu dapat disebabkan dan dipicu oleh berbagai hal di
antaranya gangguan dan infeksi sejak dalam kehamilan, pengaruh reaksi simpang
makanan, dan berbagai pemicu lainnya.
B.
Pengaturan Tentang Anak Penyandang Cacat Dalam Peraturan Perundang-Undangan
1.
UUD 1945 Pasal
28B ayat 2
Pasal
28B ayat 2 ini berbunyi “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh,
dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Maksud dari
pasal ini adalah bahwa setiap anak berhak mendapatkan hak-hak sesuai dengan
pasal tersebut tanpa membeda-bedakannya termasuk anak-anak penyandang Autis. [4]
2.
Pengaturan di dalam Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Anak
Pada pasal 1 ayat 2 Undang-Undang
Nomor 23Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah
segala
kegiatan
untuk menjamin dan melindungi anakdan
hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi,
secara optimal
sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.[5]
Sebagaimana telah dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor
23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,bahwa setiap anak memiliki hak yang sama meskipun mengalami faktor disabilitas dan beberapa faktor lain yang
masuk kedalam perlindungan
khusus yang dijelaskan
pada Pasal
59 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 yaitu: Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung
jawab
untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat,
anak
yang berhadapan
dengan hukum, anak dari
kelompok minoritas dan
terisolasi, anak
tereksploitasi secara ekonomi atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi
korban
penyalahgunaan narkotika,
alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak
korban penculikan,
penjualan dan perdagangan,
anak korban
kekerasan baik
fisik atau mental,anak yang menyandang
cacat,dan anak korban perlakuan salah
dan penelantaran.
Kesempatan yang
sama bagi anak penyandang cacat juga dijelaskan dalam Pasal 51 dalam Undang-Undang Nomor 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
yang menegaskan bahwa: “Anak yang menyandang
cacat fisik atau mental diberikan kesempatan
yang sama dan aksesibilitas
untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luarbiasa.” Sebagai anakyang
mendapatkan perlindungan khusus, seorang anak
penyandang
cacat berhak mendapatkan perlindungan
dari semua pihak baik itu
Pemerintah, Negara, Orang
Tua, Keluarga maupun Masyarakat.
Anak cacat disebutkan dalam perlindungan khusus
diakibatkan hambatan yang
dimilikinya
dalam melakukan
proses
pengembangan
dan menjalani kelangsungan hidupnya sehingga
membutuhkan pemeliharaan, perlindungan dan bantuan.[6]
3. Pengaturan di dalam Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Pengembangan pada anak-anak untuk mendapatkan kelangsungan hidup yang
sesuai dengan peraturan yang ada juga dijelaskan pada Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 4 tahun
1979 tentang Kesejahteraan Anak menegaskan bahwa:
“ kesejahteraan anak adalah satu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat
menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani,
jasmani, maupun sosial”.
Usaha Kesejahteraan anak adalah usaha kesejahteraan sosial yang ditujukan
untuk menjamin terwujudnya KesejahteraanAnak
terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak. Hak akan terwujudnya proses perkembangan anak sehingga
mampu tumbuh dengan baik juga dijelaskan pada
Pasal 2 ayat (1) dalam peraturan Undang-
Undang No4 tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak bahwa: “anak berhak atas
kesejahteraan, perawatan,
asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih
sayang baik
dalam keluarganya maupun didalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang
dengan wajar.”
Pentingnya
sebuah perkembangan yang baik bagi anak menjadi pelajaran dan pengetahuan penting bagi semua pihak. Kebutuhan hak dan kewajiban yang berbeda
ditegaskan untuk dapat diimbangi dengan baik sehingga anak akan berkembang
sesuai keinginannya. Banyaknya permasalahan anak hingga anak penyandang
cacat yang
mendapatkan perlindungan khusus dianggap perlu mendapatkan kesejahteraan
yang sama dimana dalam Pasal 1ayat (9)
pada Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak
bahwa: “anak cacat ialah
anak yang
mengalami hambatan rohani atau jasmani sehingga
mengganggu pertumbuhan dan
perkembangannya secara wajar.”
Perkembangan yang terjadi otomatis berbeda begitu pula dengan pemberian
pengadaan perlindungan bagi anak penyandang cacat. Hal tersebut disampaikan pada Pasal 7 dalam Undang-Undang
Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak bahwa: “anak
cacat berhak
memperoleh pelayanan
khusus untuk mencapai
tingkat pertumbuhan dan perkembangan sejauh batas kemampuan dan kesanggupan anak yangbersangkutan. ”Dikarenakan anak cacat memiliki hambatan dibeberapa
bagian baik
dari segi fisik, mental
atau fisik dan mental. Sehingga perkembangan anak cacat
tidak
bisa disamakan dengan anak-anak dengan
tingkat kecerdasan yang tidak memiliki hambatan
apapun.
4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang
Cacat
Peraturan
perundang-undangan
dibuat untuk mengetahui
hak dan kewajiban
serta memahami tentang Penyandang
Cacat.Maka dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat menegaskan bahwa:
Penyandang Cacat adalah
setiap orang yang
mempunyai kelainan
fisik dan/atau mental,yang dapat mengganggu
atau merupakan rintangan
dan hambatan baginya untuk melakukan
secara selayaknya,yang terdiri dari:
a. penyandang
cacat fisik;
b. penyandang cacat
mental
c. penyandang
cacat fisik
dan mental.
Meski dapat diketahui bahwa
perlindungan anak harus berada
dalam titik kesesuaian keadaan anak tersebut. Penyandang
cacat memiliki hambatan baik secara fisik,mental atau keduanya. Pada Pasal 6 dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dikatakan:
setiap
penyandang
cacat berhak memperoleh:
a.
pendidikan pada semua satuan, jalur,
jenis, dan jenjang pendidikan,
b.
Pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat
kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya,
c.
perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati
hasil-hasilnya,
d.
aksesibilitas
dalam rangka kemandiriannya,
e.
rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial,
f.
hak yang sama untuk menumbuh kembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan
sosialnya,terutama
bagi penyandang cacat anak dalam
lingkungan keluarga dan masyarakat.
Dalam bentuk apapun setiap orang
berhak mendapatkan perlindungan hingga kesejahteraan dalam
hidupnya. Kekurangan
yang dimiliki
oleh penyandang
cacat membuat peraturan mengenai hal tersebut disebutkan dalam
Pasal 5
Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat bahwa: “Setiap penyandang cacat
mempunyai hak dan kesempatan yang
sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.”
Kekurangan yang dihadapi penyandang cacat dijauhkan dari tindak
diskriminasi dengan tetap memiliki hak yang sama mengenai kesetaraan yang disesuaikan.
Perkembangan
penyandang
cacat juga tidak bisa disamakan dengan yang lain karena
pada Pasal 9 dalam Undang-Undang Nomor
4 tahun 1997 menegaskan
bahwa:“penyandang
cacat mempunyai kesamaan kesempatan dalam segala aspek
kehidupan dan penghidupan.“ Upaya untuk
melangsungkan
penghidupan ini dilakukan agar penyandang
cacat tidak menjadi terlantar dan didiskriminasi dengan kaum yang tingkat kecerdasannya berbeda.[7]
C.
Tidak Pidana
Yang Dilakuan Anak Autis
1.
Keadaan - keadaan
yang membuat pelaku tidak dapat dipidana menurut hukum pidana Indonesia
Indonesia sebagai negara hukum, tentunya menjunjung
tinggi hak-hak asasi manusia sebagaimana yang tertuang dalam BAB XA
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD’45) yang secara khusus mengatur mengenai hak asasi manusia, dan ini memiliki
konsekwensi bahwa setiap pelanggaran terhadap hak asasi manusia harus dihukum
dan dihentikan terutama berkaitan dengan hak untuk hidup dan mempertahankan
kehidupannya.
Secara umum, kejahatan maupun pelanggaran terhadap hukum
pidana Indonesia, akan mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. KUHP
merupakan upaya penyeragaman pada hukum pidana yang dapat dijadikan acuan dasar
dalam penghukuman pidana yang dapat diberlakukan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Begitupula dengan ketentuan-ketentuan mengenai siapa yang dapat atau tidak
dapat dipidananya seseorang atas kejahatan yang dilakukannya.
Maka berdasarkan pada KUHP, hal – hal yang menghapuskan
pengenaan pidana adalah sebagai berikut:
a. Karena tak mampu bertanggung jawab.
Dalam pasal 44 (1) KUHP menyatakan bahwa:“Barangsiapa
melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan
karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu
karena penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana. Dan ayat ke -(2) menyatakan: “jika
ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan
karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau karena gangguan penyakit, maka hakim
dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa,
paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
b. Pembelaan terpaksa.
keadaan dimana orang melakukan perbuatan yang
dilarang oleh hukum karena adanya ancaman yang serius yang dapat membahayakan
dirinya maupun orang lain, terhadap kehormatan kesusilaan atau harta benda
sendiri maupun orang lain.
Jika kita membaca ketentuan diatas tersebut,
maka dapat diartikan bahwa kejahatan hanya dapat dimintakan pertanggung
jwabannnya bagi orang yang sehat dan karena adanya kehendak dari diri sipelaku
untuk melakukan perbauaan tersebut,dan bukan karena adanya daya paksa. ‘Sehat’
disini bisa berarti jiwanya, maupun tubuhnya. Mengenai sehat jiwanya berarti
bahwa pelaku kejahatan tidak dapat dipidana jika ternyata secara medis
dinyatakan gila, atau keadaan – keadaan lain yang berdasarkan diagnosa dokter,
kejahatan tersebut dilakukan diluar. [8]
2.
Pasal 44) KUHP
Pasal 44 ” Tidak dapat dipidana barang siapa melakukan
perbuatan oleh karena jiwa dari si pembuat itu tidak tumbuh dengan sempurna
atau diganggu oleh penyakit sehingga sipembuat tidak dapat
dipertanggungjawabkan”. Dari perumusan ini dapat ditentukan syarat-syarat yang
termasuk dalam ketentuan pasal 44 yaitu:
a.
Mempunyai jiwa yang tidak tumbuh dengan sempurna atau
jiwa sipembuat diganggu oleh penyakit, Yang dimaksud disini adalah berhubung
dengan keadaan daya berpikir tersebut dari si pelaku, ia tidak dapat dicela
sedemikian rupa sehingga pantaslah ia tidak dikenai hukuman. Dalam hal ini diperlukan orang-orang ahli
seperti dokter spesialis dan seorang psikiater.
b.
Tingkat dari penyakit itu harus sedemikian rupa
sehingga perbuatannya tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya. Namun
demikian apabila kita mencoba mencari ketentuan yang menyatakan bagaimana/kapan
seseorang itu dianggap tidak mempunyai jiwa yang sehat hal tersebut tidak akan
ditemukan, jadi untuk menentukannya kita harus kembali melihat Memorie van
Toelichting (M.v.T) atau penjelasan daripada KUHP itu.
Dalam M.t.V ditentukan bahwa seseorang tidak dapat
dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya bila :
a.
Keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa sehingga ia
tidak dapat mengerti akan harga dan nilai dari perbuatannya.
b.
Ia tidak dapat menentukan kehendaknya terhadap
perbuatan yang ia lakukan.
c.
Ia tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya adalah
terlarang.
Maka jelaslah bahwa terhadap orang yang termasuk dalam kategori pasal 44 menurut ketentuan hukum pidana tidak dapat dihukum, namun perbuatan orang tersebut tetaplah merupakan perbutan yang bertentangan dengan hukum (Wederrechtelijk) akan tetapi terhadap pelaku diberikan alasan pemaaf oleh Undang-undang, atau schuld (Kesalahan) pembuat/ pelaku hapus.
Maka jelaslah bahwa terhadap orang yang termasuk dalam kategori pasal 44 menurut ketentuan hukum pidana tidak dapat dihukum, namun perbuatan orang tersebut tetaplah merupakan perbutan yang bertentangan dengan hukum (Wederrechtelijk) akan tetapi terhadap pelaku diberikan alasan pemaaf oleh Undang-undang, atau schuld (Kesalahan) pembuat/ pelaku hapus.
3.
Kelemahan Dalam Penerapan Pasal 44 KUHP
Dengan kemampuan pengamatan dan daya analitis yang masih sederhana, penulis
akan sedikit uraikan pernyataan para ahli hukum yang mengatakan bahwa pasal 44
ini memiliki kelemahan dalam penerapannya. Pasal 44 KUHP ini melahirkan dua perbedaan
pendapat di dunia pakar hukum Indonesia :
1.
Bahwa pasal ini ditujukan kepada orang yang tidak mampu
bertanggung jawab dan dalam kondisi yang sakit secara kejiwaan atau tidak
sempurna akalnya, sehingga menurut mereka “kelainan jiwa” pun termasuk di
dalamnya, sehingga alasan peniadaan pidana pun layak untuk dijatuhkan terhadap
mereka. Konsekuensi logisnya, yaitu lepas dari segala tuntutan jika memang
tersangka berada dalam kondisi yang diurai diatas.
2.
Bahwa pasal ini kurang jelas dalam memberikan uraian
mengenai batasan kemampuan bertanggung jawab seseorang, pada praktiknya di
dalam proses penyelidikan seringkali ditemukan fakta bahwa tersangka masih
dalam keadaan normal dan “prima” secara fisik, namun secara mental dan kejiwaan
ia bermasalah sehingga ia melakukan kejahatan, inilah yang dimaksud dengan
“kelainan jiwa” jelasnya dalam tahap pemikiran ini, gangguan jiwa ini terbagi
menjadi “sakit jiwa” dan “kelainan jiwa”.[9]
Pada kerangka Pemikiran pertama di atas,
kelainan jiwa tergolong menjadi sebuah kondisi dimana orang yang mengalaminya
harus dilepas dari segala tuntutan hukum jika memang terbukti adanya kelainan
jiwa dalam diri tersangka, dengan kata lain pendapat ini tidak membedakan
antara “sakit” dan “kelainan jiwa”.
PENUTUP
1. Kesimpulan
1)
Autisme adalah gangguan perkembangan pervasif
pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang
kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial.
2)
Pasal yang mengatur tentang penyandang cacat dalam
perundang-undangan diantaranya yaitu :
·
UUD 1945 Pasal
28B ayat 2
·
Pengaturan di dalam Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Anak
·
Pengaturan di dalam Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1979 tentang
KesejahteraanAnak
·
Undang-Undang Nomor4 Tahun1997 tentangPenyandang
Cacat
3) Dalam M.t.V ditentukan bahwa seseorang
tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya bila :
·
Keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa sehingga ia tidak dapat mengerti
akan harga dan nilai dari perbuatannya.
·
Ia tidak dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang ia lakukan.
·
Ia tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya adalah terlarang.
1) Bagi keluarga pengindap autisme di
harapkan agar bisa memberikan perhatian lebih terhadap sang anak tersebut
2) Pemerintah diharapkan agar bersikap adil
terhadap pengidap Autisme
3) Lingkungan masyarakatnya seharusnya
memaklumi keadaan pengindap Autisme
4) Jika memungkinkan maka sang anak
pengindap Autisme agar diberikan proses rehabilitasi
DAFTAR
PUSTAKA
Kemenpppa.2011.
Kebijakan Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta.
Setiawan, Ikhsan.2014.Skripsi Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 Tentang
Perlindungan Anak dihubungkan dengan Pemenuhan Hak Anak
Penyandang
Cacat di Kota Bengkulu. Begkulu.
UUD 1945.
Surabaya: Anugrah
Wijayakusuma, Hembing. 2004. Psikoterapi
anak Autisma. Jakarta: Pustaka Populer Obor.
Wiramiharjda, Sutardjo. 2005. Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung:
PT. Refika
Aditama.
[1]http://makalahpsikologi.blogspot.co.id/2011/02/autis.html
[2]
Prof. H.M. Hembing Wijayakusuma, Psikoterapi Anak Autisma, (Jakarta:
Pustaka Populer Obor, 2004), hlm: v.
[3]Ibid,
hlm: vi.
[4]
UUD 1945, (Surabaya: Anugrah). Hlm: 78.
[5]
Permeneg PPPA No.10 Tahun 2011.
[6] Permeneg PPPA No.10 Tahun 2011.
[7]IkhsanSetiawan,Skripsi Tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun2002 Tentang Perlindungan Anak dihubungkan dengan Pemenuhan Hak
AnakPenyandang Cacat di Kota Bengkulu. (Begkulu: 2004).
No comments:
Post a Comment