Pages

Powered by Blogger.

Sunday 10 January 2016

Paper Pendidikan Kwarganegaraaan tentang Autisme

Paper Pendidikan Kwarganegaraaan tentang Autisme


PENGATURAN HAK ASASI MANUSIA
TERHADAP ANAK YANG MENGIDAP AUTISME
SESUAI PASAL 28 B AYAT 2 UUD 1945

 

Dosen Pengampu        :  Koesoemadji, S. H., M.Si
Mata kuliah                 :  pendidikan Kwarganegaraaan

                                   


Disusun oleh :

Risalatul Hidayah                               (1507016042) 
Dyah Isnaini                                        (1507016047)
Muhammad Usman Asyi’ari               (1507016056)
Annisa Umi Latifah                            (1507016065)
Aqil mufid                                          (1501076072)

 

 

PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
 
 

PENGATURAN HAK ASASI MANUSIA

TERHADAP ANAK YANG MENGIDAP AUTISME

SESUAI PASAL 28 BAYAT 2 UUD

 
 
PENDAHULUAN
 
1.      Latar Belakang
Sering timbul kekuatiran jika anak terlambat bicara atau bertingkah laku tidak lazim, apakah anak menderita autisme. Kata autisme saat ini sering kali diperbincangkan, angka kejadian ini di seluruh dunia terus meningkat. Banyak penyandang autisme terutama yang ringan masih tidak terdeteksi dan bahkan sering mendapatkan diagnosa yang salahatau bahkan terjadi overdiagnosis, hal tersebut tentu saja sangat merugikan anak.
Memiliki anak yang menderita autis memang berat. Anak penderita autis seperti seorang yang kerasukan setan. Selain tidak mampu bersosialisasi, penderita tidak dapat mengendalikan emosinya. Kadang tertawa terbahak, kadang marah tak terkendali. Dia sendiri tidak mampu mengendalikan dirinya sendiri dan memiliki gerakan-gerakan aneh yang selalu diulang-ulang. Selain itu dia punya ritual sendiri yang harus dilakukannya pada saat-saat atau kondisi tertentu.
Faktor genetikdianggap sebagai satu-satunya penyebab autisme sehingga penderitanya dianggap tidak bisa disembuhkan namun bukti-bukti yang sekarang muncul menunjukkan ada peluang untuk penyembuhan karena gangguan itu tidak hanya dipengaruhi oleh faktor genetik melainkan juga dipengaruhi faktor lingkungan.
                                                                                                                                    
2.      Rumusan Masalah
a.       Apa Pengertian Autisme ?
b.      Apa Pasal-Pasal yang Sesuai Dengan Autisme ?
c.       Bagaimana Tindak Pidana yang Dilakukan Anak Autisme ?
 
 
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Autisme

Autisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu autos yang artinya diri yang tidak berdaya. Menurut Kamus Lengkap Psikologi J.P Chaplin (2001), ada tiga pengertian autisme:
1.    cara berpikir yang dikendalikan oleh kebutuhan personal atau diri sendiri.
2.    menanggapi dunia berdasarkan penglihatan dan harapan sendiri dan  menolak realitas.
3.     keasyikkan ekstrim dengan pikiran dan fantasi sendiri. [1]
Autisme adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial.[2]Autismejuga merupakan sebuah sindrom gangguan perkembangan sistem saraf pusat yang ditemukan pada sejumlah anak ketika masa kanak-kanak hingga masa sesudahnya. Ironisnya, sindrom tersebut membuat anak-anak yang menyandangnya tidak tidak mampu menjalin hubungan sosial secara norman bahkan tidak mampu untuk menjalin komunikasi dua arah.
Autisme dapat disandang oleh seluruh anak dari berbagi tingkatan sosial dan budaya. Hasil survei yang diambil dari beberapa negara menunjukkan bahwa 2-4 anak per 10.000 anak peluang menyandang Autisme dengan rasio perbandingan 3:1 untuk anak laki-laki dan perempuan. Dengan kata lain, anak laki-laki lebih rentan menyandang sindrom Autisme dibandingkan dengan anak perempuan. [3]
Gangguan perilaku yang diperlihatkan oleh sebagian besar anak Autisme berupa rasa gelisah, menyakiti diri sendiri, hiperaktif, hingga kesulitan dalam mengendalikan keingian untuk buang air. Adapun gangguan umum yang kerap dihadapi oleh orang tua atas anak perderita Autisme adalah reaksi emosional yang sangat buruk. Keburukan reaksi emosional itu pada tampilan perilaku anak Autisme yang cenderung merusak benda-benda disekitarnya. Dalam hal ini banyak anggapan bahwa anak autisme identik dengan perilaku hiperaktif dan agresif.
Penyebab Autisme belum diketahui secara pasti. Beberapa ahli menyebutkan Autisme merupakan kelainan genetik yang mengakibatkan gangguan fungsional susunan saraf pusat yang disertai gangguan kerusakan pada saluran cerna. Keadaan itu dapat disebabkan dan dipicu oleh berbagai hal di antaranya gangguan dan infeksi sejak dalam kehamilan, pengaruh reaksi simpang makanan, dan berbagai pemicu lainnya.
 

B.     Pengaturan Tentang Anak Penyandang Cacat Dalam Peraturan Perundang-Undangan

1.    UUD 1945 Pasal 28B ayat 2

Pasal 28B ayat 2 ini berbunyi “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Maksud dari pasal ini adalah bahwa setiap anak berhak mendapatkan hak-hak sesuai dengan pasal tersebut tanpa membeda-bedakannya termasuk anak-anak penyandang Autis. [4]
 

2.        Pengaturan  di  dalam  Undang-Undang  Nomor  23  Tahun  2002  tentang Anak

Pada pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 23Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anakdan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.[5]
Sebagaimana telah dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,bahwa setiap anak memiliki hak yang sama meskipun mengalami faktor disabilitas dan beberapa faktor lain yang masuk kedalam perlindungan khusus yang dijelaskan pada Pasal 59 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yaitu: Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan  hukum,  anak dari  kelompok  minoritas  dan terisolasi,  anak  tereksploitasi  secara ekonomi  atau  seksual,  anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol,   psikotropika,  dan   zat  adiktif   lainnya  (napza),  anak   korban penculikan,  penjualan dan  perdagangan,  anak  korban kekerasan  baik fisik atau mental,anak yang menyandang cacat,dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
Kesempatan yang sama bagi anak penyandang cacat juga dijelaskan dalam Pasal 51 dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menegaskan bahwa: Anak yang menyandang cacat fisik atau mental diberikan kesempatan yang sama dan  aksesibilitas untuk memperoleh  pendidikan biasa dan pendidikan luarbiasa. Sebagai anakyang mendapatkan perlindungan khusus, seorang anak penyandang cacat berhak mendapatkan  perlindungan dari semua pihak baik itu Pemerintah, Negara, Orang Tua, Keluarga maupun Masyarakat.
Anak  cacat disebutkan dalam  perlindungan  khusus diakibatkan  hambatan yang dimilikinya  dalam melakukan proses pengembangan dan menjalani kelangsungan hidupnya sehingga membutuhkan pemeliharaan, perlindungan dan bantuan.[6]
 

3.    Pengaturan  di  dalam  Undang-Undang  Nomor  4  Tahun  1979  tentang Kesejahteraan Anak

Pengembangan pada anak-anak untuk mendapatkan kelangsungan hidup yang sesuai dengan peraturan yang ada juga dijelaskan pada Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor   4   tahun   1979   tentang   Kesejahteraan  Anak   menegaskan   bahwa: “ kesejahteraan anak adalah satu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial”.
Usaha Kesejahteraan anak adalah usaha kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya KesejahteraanAnak terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak. Hak akan terwujudnya proses perkembangan anak sehingga mampu tumbuh dengan baik juga dijelaskan pada Pasal 2 ayat (1) dalam peraturan Undang- Undang No4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak bahwa: “anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan  kasih sayang  baik dalam keluarganya maupun didalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.”
Pentingnya sebuah perkembangan yang baik bagi anak menjadi pelajaran dan pengetahuan penting bagi semua pihak. Kebutuhan hak dan kewajiban yang berbeda ditegaskan  untuk  dapat diimbangi  dengan baik  sehingga anak akan berkembang sesuai keinginannya. Banyaknya permasalahan anak hingga anak penyandang cacat yang mendapatkan perlindungan khusus dianggap perlu mendapatkan kesejahteraan yang sama dimana dalam Pasal 1ayat (9) pada Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang  Kesejahteraan Anak bahwa: “anak cacat ialah anak yang mengalami hambatan rohani atau jasmani sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar.
Perkembangan yang terjadi otomatis berbeda begitu pula dengan pemberian pengadaan perlindungan bagi anak penyandang cacat. Hal tersebut disampaikan pada Pasal 7 dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak bahwa: “anak cacat berhak memperoleh pelayanan khusus untuk mencapai tingkat pertumbuhan dan perkembangan sejauh batas kemampuan dan kesanggupan anak yangbersangkutan. ”Dikarenakan anak cacat memiliki hambatan dibeberapa bagian baik dari segi fisik, mental atau fisik dan mental. Sehingga perkembangan anak cacat tidak bisa disamakan dengan anak-anak dengan tingkat kecerdasan yang tidak memiliki hambatan apapun.
 
 

4.    Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat

Peraturan perundang-undangan dibuat untuk mengetahui hak dan kewajiban serta memahami tentang Penyandang Cacat.Maka dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat menegaskan bahwa:
Penyandang  Cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental,yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya,yang terdiri dari:

a.  penyandang cacat fisik;

b.  penyandang cacat mental

c.  penyandang cacat fisik dan mental.

Meski dapat diketahui bahwa perlindungan anak harus berada dalam titik kesesuaian keadaan anak tersebut. Penyandang cacat memiliki hambatan baik secara fisik,mental atau keduanya. Pada Pasal 6 dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dikatakan:
setiap penyandang cacat berhak memperoleh:
a.    pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan,
b.    Pekerjaan dan penghidupan  yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya,
c.    perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya,
d.   aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya,
e.    rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial,
f.     hak yang sama untuk menumbuh kembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosialnya,terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.
Dalam bentuk apapun setiap orang berhak mendapatkan perlindungan hingga kesejahteraan  dalam  hidupnya. Kekurangan yang dimiliki  oleh penyandang  cacat membuat peraturan mengenai hal tersebut disebutkan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat bahwa: Setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.”
Kekurangan yang dihadapi penyandang cacat dijauhkan dari tindak diskriminasi dengan tetap memiliki hak yang sama mengenai kesetaraan yang disesuaikan. Perkembangan penyandang cacat juga tidak bisa disamakan dengan yang lain karena pada Pasal 9 dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 menegaskan bahwa:penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan   dan  penghidupan.“   Upaya   untuk  melangsungkan  penghidupan   ini dilakukan agar penyandang cacat tidak menjadi terlantar dan didiskriminasi dengan kaum yang tingkat kecerdasannya berbeda.[7]

C.    Tidak Pidana Yang Dilakuan Anak Autis

1.     Keadaan - keadaan yang membuat pelaku tidak dapat dipidana menurut hukum pidana Indonesia

Indonesia sebagai negara hukum, tentunya menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia sebagaimana yang tertuang dalam BAB XA Undang-Undang Dasar 1945 (UUD’45) yang secara khusus mengatur mengenai hak asasi manusia, dan ini memiliki konsekwensi bahwa setiap pelanggaran terhadap hak asasi manusia harus dihukum dan dihentikan terutama berkaitan dengan hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya.
Secara umum, kejahatan maupun pelanggaran terhadap hukum pidana Indonesia, akan mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. KUHP merupakan upaya penyeragaman pada hukum pidana yang dapat dijadikan acuan dasar dalam penghukuman pidana yang dapat diberlakukan bagi seluruh rakyat Indonesia. Begitupula dengan ketentuan-ketentuan mengenai siapa yang dapat atau tidak dapat dipidananya seseorang atas kejahatan yang dilakukannya.
Maka berdasarkan pada KUHP, hal – hal yang menghapuskan pengenaan pidana adalah sebagai berikut:
a.       Karena tak mampu bertanggung jawab.
Dalam pasal 44 (1) KUHP menyatakan bahwa:“Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana. Dan ayat ke -(2) menyatakan: “jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau karena gangguan penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
b.      Pembelaan terpaksa.
keadaan dimana orang melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum karena adanya ancaman yang serius yang dapat membahayakan dirinya maupun orang lain, terhadap kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain.
c.       Dilakukan karena melaksanakan perintah undang - undang. Misalnya: eksekutor tembakan mati.
Jika kita membaca ketentuan diatas tersebut, maka dapat diartikan bahwa kejahatan hanya dapat dimintakan pertanggung jwabannnya bagi orang yang sehat dan karena adanya kehendak dari diri sipelaku untuk melakukan perbauaan tersebut,dan bukan karena adanya daya paksa. ‘Sehat’ disini bisa berarti jiwanya, maupun tubuhnya. Mengenai sehat jiwanya berarti bahwa pelaku kejahatan tidak dapat dipidana jika ternyata secara medis dinyatakan gila, atau keadaan – keadaan lain yang berdasarkan diagnosa dokter, kejahatan tersebut dilakukan diluar. [8]
 
2.    Pasal 44) KUHP
Pasal 44 ” Tidak dapat dipidana barang siapa melakukan perbuatan oleh karena jiwa dari si pembuat itu tidak tumbuh dengan sempurna atau diganggu oleh penyakit sehingga sipembuat tidak dapat dipertanggungjawabkan”. Dari perumusan ini dapat ditentukan syarat-syarat yang termasuk dalam ketentuan pasal 44 yaitu:
a.       Mempunyai jiwa yang tidak tumbuh dengan sempurna atau jiwa sipembuat diganggu oleh penyakit, Yang dimaksud disini adalah berhubung dengan keadaan daya berpikir tersebut dari si pelaku, ia tidak dapat dicela sedemikian rupa sehingga pantaslah ia tidak dikenai hukuman. Dalam hal ini diperlukan orang-orang ahli seperti dokter spesialis dan seorang psikiater.
b.      Tingkat dari penyakit itu harus sedemikian rupa sehingga perbuatannya tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya. Namun demikian apabila kita mencoba mencari ketentuan yang menyatakan bagaimana/kapan seseorang itu dianggap tidak mempunyai jiwa yang sehat hal tersebut tidak akan ditemukan, jadi untuk menentukannya kita harus kembali melihat Memorie van Toelichting (M.v.T) atau penjelasan daripada KUHP itu.
Dalam M.t.V ditentukan bahwa seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya bila :
a.    Keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa sehingga ia tidak dapat mengerti akan harga dan nilai dari perbuatannya.
b.    Ia tidak dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang ia lakukan.
c.    Ia tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya adalah terlarang.
Maka jelaslah bahwa terhadap orang yang termasuk dalam kategori pasal 44 menurut ketentuan hukum pidana tidak dapat dihukum, namun perbuatan orang tersebut tetaplah merupakan perbutan yang bertentangan dengan hukum (Wederrechtelijk) akan tetapi terhadap pelaku diberikan alasan pemaaf oleh Undang-undang, atau schuld (Kesalahan) pembuat/ pelaku hapus.
 
3.    Kelemahan Dalam Penerapan Pasal 44 KUHP
Dengan kemampuan pengamatan dan daya analitis yang masih sederhana, penulis akan sedikit uraikan pernyataan para ahli hukum yang mengatakan bahwa pasal 44 ini memiliki kelemahan dalam penerapannya. Pasal 44 KUHP ini melahirkan dua perbedaan pendapat di dunia pakar hukum Indonesia :
 
1.      Bahwa pasal ini ditujukan kepada orang yang tidak mampu bertanggung jawab dan dalam kondisi yang sakit secara kejiwaan atau tidak sempurna akalnya, sehingga menurut mereka “kelainan jiwa” pun termasuk di dalamnya, sehingga alasan peniadaan pidana pun layak untuk dijatuhkan terhadap mereka. Konsekuensi logisnya, yaitu lepas dari segala tuntutan jika memang tersangka berada dalam kondisi yang diurai diatas.
 
2.      Bahwa pasal ini kurang jelas dalam memberikan uraian mengenai batasan kemampuan bertanggung jawab seseorang, pada praktiknya di dalam proses penyelidikan seringkali ditemukan fakta bahwa tersangka masih dalam keadaan normal dan “prima” secara fisik, namun secara mental dan kejiwaan ia bermasalah sehingga ia melakukan kejahatan, inilah yang dimaksud dengan “kelainan jiwa” jelasnya dalam tahap pemikiran ini, gangguan jiwa ini terbagi menjadi “sakit jiwa” dan “kelainan jiwa”.[9]
Pada kerangka Pemikiran pertama di atas, kelainan jiwa tergolong menjadi sebuah kondisi dimana orang yang mengalaminya harus dilepas dari segala tuntutan hukum jika memang terbukti adanya kelainan jiwa dalam diri tersangka, dengan kata lain pendapat ini tidak membedakan antara “sakit” dan “kelainan jiwa”.
 
 
 
PENUTUP
1.      Kesimpulan
1)        Autisme adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial.
2)        Pasal yang mengatur tentang penyandang cacat dalam perundang-undangan diantaranya yaitu :
·         UUD 1945 Pasal 28B ayat 2
·         Pengaturan  di  dalam  Undang-Undang  Nomor  23  Tahun  2002  tentang Anak
·         Pengaturan  di  dalam  Undang-Undang  Nomor  4  Tahun  1979  tentang KesejahteraanAnak
·         Undang-Undang Nomor4 Tahun1997 tentangPenyandang Cacat
3)   Dalam M.t.V ditentukan bahwa seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya bila : 
·      Keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa sehingga ia tidak dapat mengerti akan harga dan nilai dari perbuatannya.
·      Ia tidak dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang ia lakukan.
·      Ia tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya adalah terlarang.
2.      Saran
1)      Bagi keluarga pengindap autisme di harapkan agar bisa memberikan perhatian lebih terhadap sang anak tersebut
2)      Pemerintah diharapkan agar bersikap adil terhadap pengidap Autisme
3)      Lingkungan masyarakatnya seharusnya memaklumi keadaan pengindap Autisme
4)      Jika memungkinkan maka sang anak pengindap Autisme agar diberikan proses rehabilitasi
 
 
 

DAFTAR PUSTAKA
 
Kemenpppa.2011. Kebijakan Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta.
Setiawan, Ikhsan.2014.Skripsi Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak dihubungkan dengan Pemenuhan Hak Anak
Penyandang Cacat di Kota Bengkulu. Begkulu.
UUD 1945. Surabaya: Anugrah
Wijayakusuma, Hembing. 2004. Psikoterapi anak Autisma. Jakarta: Pustaka Populer Obor.
Wiramiharjda, Sutardjo. 2005. Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung: PT. Refika
Aditama. 


[1]http://makalahpsikologi.blogspot.co.id/2011/02/autis.html
[2] Prof. H.M. Hembing Wijayakusuma, Psikoterapi Anak Autisma, (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2004), hlm:  v.
[3]Ibid, hlm: vi.
[4] UUD 1945, (Surabaya: Anugrah). Hlm: 78.  
[5] Permeneg PPPA No.10 Tahun 2011.
[6]  Permeneg PPPA No.10 Tahun 2011.
[7]IkhsanSetiawan,Skripsi Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun2002 Tentang Perlindungan Anak dihubungkan dengan Pemenuhan Hak AnakPenyandang Cacat di Kota Bengkulu. (Begkulu: 2004).
 
 
[8]Kemenpppa, Kebijakan Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus,(Jakarta: 2011)
 
[9]Kemenpppa, Kebijakan Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus,(Jakarta: 2011). 
 

No comments:

Post a Comment

 

Contributors

Followers