Pages

Powered by Blogger.

Thursday 17 December 2015

Makalah Situasi Politik Pada Masa Ali Bin Abi Thalib

MAKALAH SITUASI POLITIK ALI BIN ABI THALIB


 

PENDAHULUAN


Khalifah Ali bin Abi Thalib adalah Khalifah keempat setelah Khalifah Utsman bin Affan. Nama lengkap beliau adalah Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf. Beliau lahir 32 tahun setelah kelahiran Rosulullah Saw. Dan beliaupun termasuk anak asuh Nabi Muhammad Saw. Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib boleh dibilang tangan kanan Nabi Muhammad Saw, ketika di Madinah.

Proses pengangkatan beliau sebagai Khalifah yang mula-mula di tolak oleh beliau karena situasi yang kurang tepat yang banyak terjadi kerusuhan disana sini. Dan karena waktu itu masyarakat butuh pemimpin akhirnya karena desakan masyarakat untuk menjadikan Khalifah Ali bin Abi Thalib menjadi pemimpin pun akhirnya diterima. Pada tanggal 23 juni 656 Masehi, beliau resmi menjadi Khalifah.

Setelah diangkat menjadi khalifah yang keempat Ali bin Abi Thalib mengambil beberapa tindakan seperti memberhentikan para pejabat yang korupsi, mengambil kembali lahan perkebunan yang diberikan kepada orang-orang tertentu pada masa khalifah Usman bin Affan dan mendistribusikan pendapatan pajak tahunan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh khalifah Umar bin Khattab. Ali juga memberhentikan pejabat yang diangkat oleh Usman yang mengakibatkan terjadinya pemberontakan.

Masa pemerintahan Ali yang hanya berlangsung selama enam tahun ini diwarnai dengan ketidakstabilan politik. Ali harus menghadapi pemberontakan Aisyah, Thalhah dan Zubair yang menuntut pembunuh Utsman harus diadili. Berbagai kebijakan yang diambil oleh Ali menimbulkan permusuhan dengan Muawiyah dan keluarga Bani Umayyah, dan dari golongan khawarij mantan pendukung Ali yang  kecewa terhadap keputusan Ali. Atas dasar permasalahan inilah penulis akan mencoba menjelaskan mengenai situasi politik pada masa Ali bin Abi Thalib.

 

PEMBAHASAN


Ali bin Abi Thalib dikukuhkan menjadi khalifah keempat menggantikan Utsmanbin Affan yang mati terbunuh ditangan kaum pemberontak. Ali adalah saudara sepupu (anak paman) Nabi Muhammad SAW dan suami dari putri beliau, Fatimah. Ia yang pertama masuk Islam dari kalangan kanak-kanak. Setelah Utsman bin Affan wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Setelah Ali bin Abi Thalib dibaiat menjadi Khalifah di Masjid Nabawi, Ia menyampaikan pidato penerimaan jabatannya. Pidatonya menggambarkan bahwa Khalifah Ali menganjurkan dan memerintahkan agar umat Islam :

  1. Tetap berpegang teguh kepada Al-Qur`an dan Hadist sebagai petunjuk yang  membedakan antara yang baik dan jahat
  2. Taat dan bertakwa kepada Allah serta mengabdi kepada Negara.
  3. Saling memelihara kehormatan diantara sesama muslim dan umat lain
  4. Terpanggil untuk berbuat kebajikan untuk kepentingan umum
  5. Taat dan patuh kepada pemerintah[1]

Dalam pidato tersebut Ali juga menyadari ada pihak-pihak tertentu yang tidak menyetujui pengangkatannya, sehingga ia memperingatkan bahwa yang membangkang akan mendapat tindakan, karena mereka dianggap melawan pemerintah yang sah. Pada awal pemerintahannya Ali melakukan konsolidasi internal yaitu :

  1. Mengganti pejabat-pejabat daerah yang diangkat Utsman.
  2. Mengambil kembali tanah-tanah yang dibagi-bagikan, termasuk didalamnya hibah atau pemberian Utsman kepada family-family dan kaum kerabatnya, dilakukan karena tanpa melalui prosedur yang sah.[2]

Ali memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikit pun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Ali dibaiat menjadi Khalifah ditengah-tengah kekacauan dan kerusuhan akibat kematian Khalifah Utsmanbin Affan. Ali dituntut oleh Muawiyah bin Abi Sufyan agar ia menangkap para pembunuh Utsman. Hal yang sama juga dilakukan oleh Aisyah, Thalhah dan Zubair. Tuntutan itu tidak dipenuhi oleh khalifah Ali bin Abi Thalib.

Kemudian terjadi dua peristiwa perang sesama muslim. yakni, pertama : Perang Jamal (unta) pada tahun 36 Hijrah melawan pasukan Aisyah, Thalhah dan Zubair. Kedua, Perang Shiffin pada tahun 37 Hijrah melawan Muawiyah, yang memunculkan Majlis Tahkim. Dari lembaga inilah, muncul ketidakpuasan kelompok-kelompok tertentu, baik secara politis, sosial maupun kesukuan. Akhirnya lahir sekte-sekte atau firqah-firqah, yaitu Syi`ah, Khawarij dan Murji`ah.

 

Konflik Ali bin Abi Thalib dengan Thalhah, Zubair, dan Aisyah


Ketika Aisyah telah menunaikan umrah dan akan kembali ke Madinah, beliau menangguhkan kepulangannya setelah mendengar berita kematian khalifah Utsman. Terlebih Aisyah mendapatkan kabar bahwa Ali telah dibaiat menjadi khalifah pengganti Utsman.Aisyah, yang dikenal mempunyai analisa yang tajam terhadap teks-teks keagamaan, menuntut hal yang sama seperti Muawiyyah, supaya Ali mengusut tuntas siapa pembunuh Utsman.[3] Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam yang saat itu berada di Madinah,meminta izin kepada Ali bin Abi Thalib untuk pergi ke Makkah dalam rangka menunaikan umrah.Namun, setelah tiba di Makkah dan bertemu dengan Aisyah, kedua sahabat ituakhirnya sepakat untuk sama-sama menuntut Ali agar mengusut danmenghukum para pembunuh Utsman.

Dasar gerakan `Aisyah adalah menuntut penghukuman orang-orang yang membunuh Utsman. Sementara Zubair dan Thalhah memiliki dasar pikiran yang sama sehingga mereka bergabung untuk mencari jalan keluar persolan ini, setelah empat bulan dari tragedi pembunuhan Utsman. Bagi mereka, persoalan qishash terhadap pembunuh Utsman harus segera diselesaikan, sebab khawatir kejadian serupa akan terulang kembali di masa yang akan datang. Jika para pembunuh Utsman itu dibiarkan berkeliaran bebas, maka upaya pembunuhan khususnya, atau lebih jauhnya lagi pemberontakan terhadap pemimpin (Imam) di masa yang akan datang bisa sering terjadi.

Ali merespon keluhan dari para sahabatnya kemudian beliau ingin membentuk kekuatan terlebih dahulu dari kalangan kaum muslim,terutama dari para pembesar sahabat. Jika itu sudah terbentuk, maka kekuatan hukum untuk mengusut tuntas siapa pembunuh khalifah Utsman akan dapat dilaksanakan dengan lancar. Bagi Ali, persoalan qishash baru dapat ditegakkan manakala situasi politik sudah tenang dan kaum muslimin sudahbersatu pada dalam satu pemerintahan yang kokoh. Kemudian ada pengaduan dan tuntutan dari pihak keluarga yang jadi ahli waris Utsman. Sebab, pembunuhan Khalifah Utsman bukanlah criminal biasa melainkan tragedypolitik yang tidak terbayangkan sebelumnya. Lagi pula jumlah pembunuh Utsman yang sebenarnya belum diketahui secara pasti, sementara para pendukung yang terlibat di dalamnya datang dari berbagai kabilah dan suku yang berbeda. Sangat rawan bagi Ali dan bagi keutuhan umat jika ia ceroboh menetapkan qishash kepada para tersangka tanpa menunggu situasi yang tepat. Karena bagaimanapun, fanatisme kelompok akan menjadi dasar bagi tiap kabilah untuk membela anggota kabilahnya yang dituntut hukuman qishash meskipun umpamanya terbukti benar-benar terlibat.

Pada akhirnya penegakkan qishash itu malah akan menimbulkan peperangan baru antar kabilah dari keluarga penuntut dengan kabilah dari keluarga terdakwa. Karena perbedaan pandangan antara kedua kubu itu, maka peperangan pun tidak dapat dihindari. Perang pertama antara dua kubu muslim ini dikenal dengan sebutan Perang Jamal. Dikatakan Perang Jamal karena saat itu Aisyah menaiki unta ketika berperang. Perang ini memakan banyak korban. Ibnu Katsir menyebut kurang lebih dari sepuluh ribu orang dari kedua belah pihak menjadi korban. Bahkan dua tokoh sahabat, Thalhah dan Zubair yang oleh Rasulullah dijamin masuk surga, meninggal dunia.[4]

Pada hal saat itu, Thalhah dan Zubair telah mengundurkan dari medan pertempuran dan menyesali sikapnya yang berlebihan dalam menentang Ali.Perang itu sendiri dimenangkan oleh Ali bin Abi Thalib. Ali beserta pengikutnya kemudian mengurusi para korban dan menyolatkannya. Sikap Ali di atas menunjukkan bahwa peperangan itu bukanlah peperangan untuk menentukan siapa mukmin siapa kafir. Buktinya Ali menyolati para korban dari kedua pihak. Setelah mengurusi korban, menyolati dan menguburkannya, Pasukan Ali dapat menguasai dan memenangkan peperangan, sementara Aisyah dalam peperangan itu tertangkap. Ia memperlakukan Aisyah dengan perlakuan yang penuh penghormatan dan setelah itu memulangkannya ke kota Madinah dengan penjagaan yang sempurna dan terhormat.Sejak kejadian tersebut, Aisyah menghabiskan umurnya untuk beribadah dan mengajarkan hadits kepada para penuntut ilmu di Madinah. Iamenjauhkan diri dari hiruk pikuk percaturan politik yang terus bergejolak sampai akhir hayatnya.Ia banyak merenung dan menyesali perbuatannya karena ikut terlibat dalam peperangan.

Konflik Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah dan Kaum Khawarij



·         Ali dengan Mu’awiyah


Saat Utsman terbunuh oleh para perusuh yang mengepung rumahnya, Nailah, istri Khalifah Utsman bin Affan yang menyaksikan dan sekaligus jadi korban kebrutalan para perusuh sehingga jari-jari tangannya terputus. Ia segera menulis surat untuk Muawiyah di Syria yang menuturkan kronologis pembunuhan Khalifah. Beserta surat ini dikirimkan juga barang bukti berupa pakaian Utsman yang berlumuran darah dan jari-jari tangan Nailah yangterpotong.[5]Barang bukti ini kemudian digantungkan di atas mimbar Masjid Jami Syria. Para penduduk yang memang sangat menghormati Utsman terharu melihat barang bukti itu, dan menuntut agar para pelaku pembunuhan dihukum qishash. Keadaan semakin memanas, tatkala datang utusan khalifah Ali bin Abi Thalib yang menuntut janji ketaatan (baiat) terhadap Ali.

Ditambah lagi dengan keputusan Ali memecat Muawiyyah menyebabkan kebanyakan penduduk di Syiria menangguhkan(bukan menolak) pembaiatan terhadap Ali sebelum para pembunuh Utsman dikupas tuntas. Ada dua alasan mengapa Muawiyyah tidak membaiat Ali bin Abi Thalib. Pertama, bagi Muawiyah, tuntutan para pembunuh Utsman harus terlebih dahulu ditangkap dihukum. Kedua, tak ada suara bulat dari kalangan terkemuka muslim (para sahabat senior). Saat itu Muawiyyah berargumen, bahwa sikapnya yang menolak untuk membaiat Ali tidak berarti dia berontak terhadap Imam, tetapi alasannya, lebih-lebih karena tak ada suara bulat dari kalangan umat untuk membaiatnya. Telah disinggung sebelumnya, dan mengapa Ali menangguhkan qishash terhadap pelaku pembunuh Utsman. Namun, mengapa pihak Muawiyyah masih saja terus menuntut Ali untuk melakukannya, dan tidak mau membaiatnya sebelum urusan pembunuhan Utsman dituntaskan. Ada dugaan saat itu bahwa Ali berada di belakang para pemberontak yang membunuh Utsman. Apalagi adanya sikap Ali yang menangguhkan pengusutan pembunuhan Utsman dan penegakkan hukuman qishash.

Ali sendiri ketika menghadapi tantangan Muawiyah telah melakukanberbagai cara. Ali selalu mengirim surat dan delegasi untuk mengajak islah, mengajak Muawiyah memberi baiat terhadapnya. Namun, usahanya tersebutselalu menemui jalan buntu. Bahkan, pernah satu ketika Muawiyah membalassurat kepada Ali tanpa ada isinya selain basmalah. Tak hanya itu, surat yangbersegel “Dari Muawiyah bin Abi Sufyan kepada Ali bin Abi Thalib” tanpamenyebut gelar Amirul Mukminin.

Surat tersebut sebenarnya memberi indikasi bahwa konsilidasi, negosiasi dan rekonsiliasi yang diinginkan Ali kepada Muawiyah kecil kemungkinan berhasil. Ali akhirnya mengambil langkah untuk melakukan tindakan kepada Muawiyyah. Sebelum mengambil tindakan, Ali terlebih dahulu meminta persetujuan dari para sahabat yang ada di Madinah waktu itu. Sikap sahabat pun terbagi tiga kelompok; ada yang antusias mendukung Ali, seperti Abu Qatadah, Ammar bin Yasir, dan Umu Salamah. Ada juga yang tidak setuju dan menyarankan agar rencana itu dipertimbangkan terlebih dahulu. Ada yang bersikap diam dan memilih menyingkir dari rencana ini seperti Saad bin Abi Waqqas, Suhaib bin Sinan, Muhammad bin Maslamah dan Abdullah bin Umar. Ibnu Abbas dan Mughirah bin Syu’bah tatkala itu bahkan menyarankan agar Ali tidak tergesa-gesa dan membiarkan Muawiyah pada jabatannya untuk beberapa lama sehingga suhu politik mereda terlebih dahulu. Namun saran dari kedua sahabat dekatnya itu, dirasa kurang tepat. Justru jika Muawiyah terus dibiarkan memimpin, dia khawatir kelompok opisisi di Syiria akan semakin banyak dan kuat karena pengaruh Muawiyah.[6]

Singkatnya, peperangan antara kubu Ali dengan Muawiyah dalam waktu yang tidak lama lagi akan terjadi. Tepat pada akhir bulan Dzulqaidah tahun 36 H, Ali memutuskan untuk bergerak menuju Syam dengan kekuatan pasukan sekitar seratus ribu hingga seratus lima puluh ribu personil. Rencana Ali itu sampai pada Muawiyah, dan segera setelah itu Muawiyah pun menyiapkan pasukan dengan kekuatan sembilan puluh ribu hingga seratus lima puluh ribu personil. Kedua pasukan tersebut akhirnya bertemu di Shiffin,suatu tempat di lembah sungai Efrat yang menjadi perbatasan Irak dan Syiria. Perang pun terjadi, kedua pasukan itu berperang sepanjang bulan Dzulhijah tahun 36 H. Kemudian terselingi gencatan senjata selama bulan Muharram awal tahun 37 H. Peperangan dilanjutkan kembali awal bulan Shafar dengan sangat hebatnya kerena kedua belah pihak sudah tidak lagi ingin mengakhiripertempuran yang sudah sangat melelahkan itu. Tragedi ini merupakan malapetaka amat besar yang patut disesalkan. Saat perang dahsyat itu berkecamuk, pasukan Ali hamper saja memenangkan pertempuran. Tercatat 7.000 orang Islam gugur.[7]Sedang luka korban fisik tidak terhitung.

Pada minggu kedua dari bulan Safar, pasukan Muawiyah mulai terdesak, sementara pasukan Ali berada di atas angin. Muawiyah yang sudah berpengalaman dalam bidang politik dan peperangan, akhirnya menyuruhbeberapa pasukannya untuk mengangkat Mushap al-Quran sebagai isyarat untuk menghentikan pertempuran. Melihat itu, kubu Ali terbagi kepada dua bagian. Ada yang menyarankan Ali untuk tidak menerima penghentian pertempuran sebelum ada pihak yang kalah dan menang. Ada juga yangmenyuruh Ali untuk menerimanya.Meskipun di kubu Ali waktu itu terbagi kepada dua kelompok, namun akhirnya mereka sepakat untuk mengakhiri pertempuran dan melakukan perundingan damai (tahkim). Perundingan tersebut dilakukan dengan cara masing-masing kubu mengirim delegasinya sebagai juru rundingnya. Pihak Muawiyah menunjuk Amr bin Ash. Sedangkan dari pihak Ali mengajukanAbu Musa al-Asy‟ari sebagai juru runding.[8]Perundingan tersebut rencananya akan dilaksanakan pada bulan Ramadhan di tempat Adzrah, daerah Daumatul Jundal yang menjadi wilayah perbatasan Irak dan Syam.

Banyak riwayat yang dituturkan pada kitab-kitab tarikh bahwa Abu Musa dan Amr saat itu sepakat melepaskan jabatan khilafah dari Ali maupun dari Muawiyah dan mengembalikannya kepada Syura kaum muslimin. Tetapi saat pembacaan keputusan Amr yang berbicara belakangan menghianati kesepakatan dengan menetapkan Muawiyah sebagai Khalifah karena Ali telah diberhentikan oleh Abu Musa. Maka terjadilah kekacauan di arena persidangan. Abu Musa mengecam Amr yang telah khianat sebagai anjing yang menjulurkan lidahnya. Amr balik menghina Abu Musa dengan menyindirnya sebagai keledai yang memikul kitab. Gagallah misi perundingan. Abu Musa mengasingkan diri ke Mekah karena malu kepada Ali. Sementara Amr bergabung dengan Muawiyah dan mendapat kedudukan yang terhormat di hadapannya.

 

·         Ali dengan Kaum Khawarij


Setelah proses tahkim berakhir hasil perundingan tentu saja dimenangkan oleh Muawiyah,sedangkan kelompok Ali terbelah menjadi dua. Ada yang tetap mendukung Ali dengan setia. Ada yang keluar dan menyudutkan posisi Ali. Kelompok kedua inilah yang disebut sebagai kaumkhawarij. Kelompok ini merasa kecewa dengan keputusan Ali yang menerima tahkim.

Setelah proses tahkim selesai, dengan rasa kecewa, sekitar 12.000 orang pulang menuju Kuffah. Mereka membuat markas militer tersendiri di Harura. Mereka mengecam Ali dan menuduhnya telah berbuat kufur serta syirik karena menyerahkan ketetapan hukum kepada manusia. Padahal menurut mereka hukum itu hanya milik Allah. Mereka berpendapat bahwa perkara yang terjadi antara Ali dan Muawiyah seharusnya tidak boleh diputuskan oleh arbitrase (tahkim) manusia. Putusan hanya dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Quran.

Ketika Ali sedang berkhutbah Jum’at, sebagian orang Khawarij meneriakinya dengan kata-kata, “tidak ada hukum selain milik Allah”. Ali mengancam mereka, “Aku tidak melarang kalian datang ke mesjid kami dan kami tidak akan menindak kalian selama kelian tidak berbuat terlebih dahulu memerangi kami”. Tetapi mereka semakin agresif menyudutkan Ali dan mengampanyekan pahamnya dengan slogan hukum itu hanya milik Allah.” Ali mengajak mereka berdialog dan berdebat tentang masalah tahkimitu secara fair dengan hati yang tenang dan akal yang jernih. Ibnu Abbas ditugaskan mendebat kaum Khawarij dan ribuan dari mereka mau kembali bergabung dengan Ali setelah menyadari kekeliruan pendapat mereka dan bahwa pendapat Ali itulah yang benar. Tetapi sebagian dari mereka tetap bersikukuh pada pendiriannya dan membentuk kelompok sendiri. Abdullah bin Wahab Ar Rasyibi ditunjuk sebagai panglima perang mereka. Ali terpaksa menumpas kaum Khawrij dengan kekuatan pedang setelah nyata kepadanya bahwa mereka tidak dapat diajak dialog dan kompromi. Terlebih lagi setelah terbukti gerakan Khawarij menimbulkan kekacauan baru dengan membunuh siapa saja yang tidak mau mempersalahkan Ali, sehingga putra seorang sahabat Nabi, Abdullah bin Khabbab dan istrinya yang sedang hamil menjadi korban pembantaian mereka. Ali menumpas mereka pada perang Nahrawan dan Harura. Tetapi kehancuran pasukan Khawarij tidak mebuat mereka surut.

Bagaimana pun kaum Khawarij tidak tinggal diam. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada mereka terus melakukan serangan kepada kelompok Ali dan kelompok Muawiyah, Amr bin ‘Ash dan Abu Musa al-Asy’ari, yaitu orang-orang yang terlibat dalam tahkim. Atas dasar ayat al-Quran diatasmereka menetapkan bahwa keempat orang ini telah menjadi kafir dan harus dibunuh. Oleh sebab itu membuat rencana untuk membunuh orang-orang yang terlibat tahkim itu. Dalam menjalankan tugas itu mereka membagi tugas dan menetapkan bagaimana cara pelaksanaan eksekusi itu. Mereka merencanakan pelaksanaan eksekusi serentak pada waktu subuh. Waktu ini dipilih ketika semua mereka itu keluar untuk menjalankan shalat subuh. Ketika waktunya tiba setiap petugas turun dan ternyata yang berhasil adalah pembunuh Ali yang bernama Abdurahman bin Muljam.[9]Ali wafat seketika, sedangkan yang

ditugasi membunuh Mu’awiyah, Amr bin Ash dan Abu Musa al-Asya’ri gagal sehingga yang wafat hanyalah Ali bin Abi Thalib saja. Wafatnya Ali bin Abi Thalib maka berakhirlah pola kepemimpinan Khalifah Rasyidin. Kemudian diserahkan kepada Hasan.[10]Hal itu membukababak baru bagi sistem pemerintahan dalam Islam dari sistem khilafah menjadi sistem kerajaan. Sistem yang tersebut terakhir berjalan dalam masa yang cukup lama.

 

ANALISIS

Situasi Politik Pada Masa Ali bin Abi Thalib


Sebagaimana perkara yang yang diungkapkan diatas bahwa Aisyah tidak setuju Ali menjadi Khalifah pengganti Utsman akan tetapi Aisyah berpendapat bahwa yang berhak menjadi Khalifah adalah Thalhah bin Ubaidillah. Kemudian berbeda dengan sahabat senior yaitu Thalhah dan Zubair yang pada mulanya mereka membai’at Ali tetapi di akhir kisah mereka bersekongkol untuk memerangi Ali. Mereka juga menginginkan kedudukan sebagai Khalifah akan tetapi rakyat Madinah tidak memihak kepada mereka, maka dari itu, ada kecemburuan terhadap Ali di samping mereka juga menuntut tragedi pembunuhan Utsman kepadanya. Begitu pula halnya dengan Mu’awiyah bin Abu Sofyan yang sangat menginginkan jabatan kekhalifahan, dengan berbagai pengalaman yang ia miliki sebagai politikus dan administrator yang pandai, wajar saja Umar memilihnya sebagai Gubernur Syam pada waktu itu, akan tetapi ketika di masa Ali, Mu’awiyah dilengserkan dari kedudukannya, maka dari itu Mu’awiyah membuat siasat untuk menjatuhkan Ali, dengan dalih menuntut pembunuhan Utsman.

Kemudian persoalan munculnya kaum khawarij, tidak terlepas dari persoalan agama dan politik dimana ketika terjadinya tahkim antara kelompok Ali dengan Mu’awiyah, kelompok ini beranggapan bahwa itu tidak sesuaidengan nash-nash al-Quran dan mengkafirkan pelaksananya. Setelah mereka keluar dari kelompok Ali, maka mereka dikenal dengan istilah kaum Khawarij. Mereka juga berambisi untuk merebut kekuasaan Khalifah Ali bin Abi Thalib pada waktu itu, karena dianggap pemerintahan yang tidak sesuai lagi dengan al-Quran dan sunnah dan ingin mendirikan negara sesuai dengan pendapat mereka yang dianggap benar. Maka dari itu, konflik-konflik yang terjadi pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib sangat kental dengan fenomena politik. Dan tak terlepas pula dari unsur-unsur lain seperti hukum (qishash) maupun agama.

 

PENUTUP


Kesimpulan

Berbagai langkah dan kebijakan yang telah dilakukan Ali dalam rangka menjalankan roda pemerintahannya, merupakan ijtihad politik yang sangat cemerlang. Meskipun pada akhirnya, kebijakan tersebut banyak memakan korban. Di lain sisi, kita juga tidak bisa menyalahkan Aisyah, Thalhah dan Zubair ketika melakukan penentangan terhadap Ali. Karena latar belakang penentangan mereka juga berdasarkan pada nash al-Quran yang dapat dipertanggung jawabkan. Apa yang dilakukan oleh Aisyah dan pengikutnya saat itu, juga didasarkan pada ijtihad politik. Baik Aisyah, Thalhah maupun Zubair tujuannya satu, memberikan nasihat kepada Ali sebagai pemimpin untuk menjalankan al-Quran dan Sunnah. Hanya saja, cara yang ditempuh oleh mereka seperti itu. Sikap yang sama juga harus kita berikan terhadap Mu’awiyah.

Mereka semua tidak pernah mengkafirkan antara sesama. Mereka hanya berbeda dalam cara menempuh menegakkan kebenaran. Maka kita juga tidak mengkafirkan seperti yang dilakukan khawarij. Sedangkan sikap kita terhadap khawarij (nenek moyang wahabi), meskipun argumen Khawarij tegas mengacu kepada nash Al Quran, tetapi mengarahkan makna ayat tersebut kepada kasus Tahkim Ali dan Muawiyah adalah interpretasi mereka yang sangat dangkal. Langkah kaum Khawarij yang menyeret tindakan para pelaku konflik politik ke dalam paradigma teologis yang kaku dan ekstrim, sehingga menyebabkan mereka dengan sewenang-wenang menilai dan menetapkan hukum kafir atau muslim kepada siapa yang mereka kehendaki, menjadi salah satu faktor penyebab munculnya pemikiran teologi tandingan seperti Syiah yang mengkafirkan semua lawan politik Ali. Dan pada gilirannya melahirkan pemikiran “poros tengah” yang menolak menetapkan hukum atau status kafir terhadap seseorang yang telah menyatakan dirinya muslim hanya karena tindakan-tindakan politiknya. Bagi mereka, semua status keimanan seseorang diserahkan kepada Allah saja, sebab manusia hanya bisa menilai seseorang dari perbuatan lahiriyahnya saja, sementara hakikat iman ada pada hati dan niat tindakan para pelaku itu sendiri.

Terakhir, konflik yang terjadi diantara sahabat nabi merupakan sunnatullah yang bisa terjadi kepada siapa, dimana dan kapan saja. Semua itu, merupakan pelajaran berharga bagi umat Islam di kemudian hari. Jika sahabat saja, yang oleh al-Quran disebut khair al-Ummah, bisa mengalami konflik, apalagi kita. Namun bagaimana seharusnya kita menyikapinya secara positif  agar tidak menimpa kita.

 

DAFTAR PUSTAKA


 

Bukhori, D.S. 2009. Sejarah Politik Islam.Jakarta: Pustaka Intermassa

Ghazali, Muchtar. 2004. Perjalanan Politik Umat Islam. Bandung: Pustaka Setia

Katsir, Ibnu.2004. Al-Bidayah Wan Nihayah, Masa Khulafa’ur Rasyidin. Jakarta: Darul Haq

Suyuti. 1993. Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: Raja Grapindo Persada

Saefuddin, B.D.2009. Sejarah Politik Islam. Jakarta: Pustaka Intermassa

Yatim, Badri.1996. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Press

Zainudin, A.H.J. 2008. Akar Konflik Umat Islam. Bandung: Persis Press

 




[1] Dr. J. Suyuthi. Ma.Pt, Fiqh SiyasahAjaran, Sejarah dan Pemikiran, Raja Grapindo Persada,Jakarta, 1993, hlm. 154

[2] Adeng Muchtar Al Ghazali,  Perjalanan Politik Umat Islam,  Pustaka Setia,Bandung, 2004, hlm. 23

[3] Jeje Zainudin, hlm. 90

[4]Ibnu Katsir, Al-Bidayah Wan Nihayah, Masa Khulafa’ur Rasyidin, Jakarta: Darul Haq,

2004. hlm. 254

[5] Jeje Zainudin, Akar Konflik Umat Islam, Bandung: Persis  Press, 2008. hlm. 98

[6]Abbas Mahmud al-Aqqad, hlm. 70

[7] Didin Saefudin Buchori, Sejarah Politik Islam. Jakarta: Pustaka Intermassa, 2009. hlm. 45

[8] Didin Saefudin Buchori, Sejarah Politik Islam. Jakarta: Pustaka Intermassa, 2009.hlm. 45

[9]Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam. Jakarta: Pustaka Intermassa, 2009.hlm. 46

[10]Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam. Jakarta: Pustaka Intermassa, 2009.hlm. 46

 

No comments:

Post a Comment

 

Contributors

Followers