MAKALAH SITUASI POLITIK ALI BIN ABI THALIB
PENDAHULUAN
Khalifah Ali bin Abi Thalib adalah Khalifah keempat
setelah Khalifah Utsman bin Affan. Nama lengkap beliau adalah Ali bin Abi
Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf. Beliau lahir 32 tahun
setelah kelahiran Rosulullah Saw. Dan beliaupun termasuk anak asuh Nabi
Muhammad Saw. Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib boleh dibilang tangan kanan Nabi
Muhammad Saw, ketika di Madinah.
Proses pengangkatan beliau sebagai Khalifah yang
mula-mula di tolak oleh beliau karena situasi yang kurang tepat yang banyak
terjadi kerusuhan disana sini. Dan karena waktu itu masyarakat butuh pemimpin
akhirnya karena desakan masyarakat untuk menjadikan Khalifah Ali bin Abi Thalib
menjadi pemimpin pun akhirnya diterima. Pada tanggal 23 juni 656 Masehi, beliau
resmi menjadi Khalifah.
Setelah diangkat menjadi khalifah yang keempat Ali
bin Abi Thalib mengambil beberapa tindakan seperti memberhentikan para pejabat
yang korupsi, mengambil kembali lahan perkebunan yang diberikan kepada
orang-orang tertentu pada masa khalifah Usman bin Affan dan mendistribusikan
pendapatan pajak tahunan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh
khalifah Umar bin Khattab. Ali juga memberhentikan pejabat yang diangkat oleh
Usman yang mengakibatkan terjadinya pemberontakan.
Masa pemerintahan Ali yang hanya berlangsung selama
enam tahun ini diwarnai dengan ketidakstabilan politik. Ali harus menghadapi
pemberontakan Aisyah, Thalhah dan Zubair yang menuntut pembunuh Utsman harus
diadili. Berbagai kebijakan yang diambil oleh Ali menimbulkan permusuhan dengan
Muawiyah dan keluarga Bani Umayyah, dan dari golongan khawarij mantan pendukung
Ali yang kecewa terhadap keputusan Ali. Atas dasar permasalahan inilah
penulis akan mencoba menjelaskan mengenai situasi politik pada masa Ali bin Abi
Thalib.
PEMBAHASAN
Ali bin Abi Thalib dikukuhkan menjadi khalifah
keempat menggantikan Utsmanbin Affan yang mati terbunuh ditangan kaum
pemberontak. Ali adalah saudara sepupu (anak paman) Nabi Muhammad SAW dan suami
dari putri beliau, Fatimah. Ia yang pertama masuk Islam dari kalangan
kanak-kanak. Setelah Utsman bin Affan wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat
Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Setelah Ali bin Abi Thalib dibaiat menjadi
Khalifah di Masjid Nabawi, Ia menyampaikan pidato penerimaan jabatannya.
Pidatonya menggambarkan bahwa Khalifah Ali menganjurkan dan memerintahkan agar
umat Islam :
- Tetap berpegang teguh kepada Al-Qur`an dan Hadist sebagai petunjuk
yang membedakan antara yang baik dan jahat
- Taat dan bertakwa kepada Allah serta mengabdi kepada Negara.
- Saling memelihara kehormatan diantara sesama muslim dan umat lain
- Terpanggil untuk berbuat kebajikan untuk kepentingan umum
- Taat dan patuh kepada pemerintah[1]
Dalam pidato tersebut Ali juga menyadari ada
pihak-pihak tertentu yang tidak menyetujui pengangkatannya, sehingga ia
memperingatkan bahwa yang membangkang akan mendapat tindakan, karena mereka
dianggap melawan pemerintah yang sah. Pada awal pemerintahannya Ali melakukan
konsolidasi internal yaitu :
- Mengganti pejabat-pejabat daerah yang diangkat Utsman.
- Mengambil kembali tanah-tanah yang dibagi-bagikan, termasuk didalamnya
hibah atau pemberian Utsman kepada family-family dan kaum kerabatnya,
dilakukan karena tanpa melalui prosedur yang sah.[2]
Ali memerintah hanya enam tahun. Selama masa
pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikit pun
dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Ali dibaiat menjadi Khalifah
ditengah-tengah kekacauan dan kerusuhan akibat kematian Khalifah Utsmanbin Affan.
Ali dituntut oleh Muawiyah bin Abi Sufyan agar ia menangkap para pembunuh
Utsman. Hal yang sama juga dilakukan oleh Aisyah, Thalhah dan Zubair. Tuntutan
itu tidak dipenuhi oleh khalifah Ali bin Abi Thalib.
Kemudian
terjadi dua peristiwa perang sesama muslim. yakni, pertama : Perang Jamal
(unta) pada tahun 36 Hijrah melawan pasukan Aisyah, Thalhah dan Zubair. Kedua,
Perang Shiffin pada tahun 37 Hijrah melawan Muawiyah, yang memunculkan Majlis
Tahkim. Dari lembaga inilah, muncul ketidakpuasan kelompok-kelompok tertentu,
baik secara politis, sosial maupun kesukuan. Akhirnya lahir sekte-sekte atau
firqah-firqah, yaitu Syi`ah, Khawarij dan Murji`ah.
Konflik Ali bin Abi Thalib dengan
Thalhah, Zubair, dan Aisyah
Ketika Aisyah telah menunaikan umrah dan akan
kembali ke Madinah, beliau menangguhkan kepulangannya setelah mendengar berita
kematian khalifah Utsman. Terlebih Aisyah mendapatkan kabar bahwa Ali telah
dibaiat menjadi khalifah pengganti Utsman.Aisyah, yang dikenal mempunyai
analisa yang tajam terhadap teks-teks keagamaan, menuntut hal yang sama seperti
Muawiyyah, supaya Ali mengusut tuntas siapa pembunuh Utsman.[3]
Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam yang saat itu berada di
Madinah,meminta izin kepada Ali bin Abi Thalib untuk pergi ke Makkah dalam
rangka menunaikan umrah.Namun, setelah tiba di Makkah dan bertemu dengan
Aisyah, kedua sahabat ituakhirnya sepakat untuk sama-sama menuntut Ali agar
mengusut danmenghukum para pembunuh Utsman.
Dasar gerakan `Aisyah adalah menuntut penghukuman
orang-orang yang membunuh Utsman. Sementara Zubair dan Thalhah memiliki dasar
pikiran yang sama sehingga mereka bergabung untuk mencari jalan keluar persolan
ini, setelah empat bulan dari tragedi pembunuhan Utsman. Bagi mereka, persoalan
qishash terhadap pembunuh Utsman harus segera diselesaikan, sebab
khawatir kejadian serupa akan terulang kembali di masa yang akan datang. Jika
para pembunuh Utsman itu dibiarkan berkeliaran bebas, maka upaya pembunuhan
khususnya, atau lebih jauhnya lagi pemberontakan terhadap pemimpin (Imam) di
masa yang akan datang bisa sering terjadi.
Ali merespon keluhan dari para sahabatnya kemudian
beliau ingin membentuk kekuatan terlebih dahulu dari kalangan kaum
muslim,terutama dari para pembesar sahabat. Jika itu sudah terbentuk, maka
kekuatan hukum untuk mengusut tuntas siapa pembunuh khalifah Utsman akan dapat
dilaksanakan dengan lancar. Bagi Ali, persoalan qishash baru dapat
ditegakkan manakala situasi politik sudah tenang dan kaum muslimin sudahbersatu
pada dalam satu pemerintahan yang kokoh. Kemudian ada pengaduan dan tuntutan
dari pihak keluarga yang jadi ahli waris Utsman. Sebab, pembunuhan Khalifah
Utsman bukanlah criminal biasa melainkan tragedypolitik yang tidak terbayangkan
sebelumnya. Lagi pula jumlah pembunuh Utsman yang sebenarnya belum diketahui
secara pasti, sementara para pendukung yang terlibat di dalamnya datang dari
berbagai kabilah dan suku yang berbeda. Sangat rawan bagi Ali dan bagi keutuhan
umat jika ia ceroboh menetapkan qishash kepada para tersangka tanpa
menunggu situasi yang tepat. Karena bagaimanapun, fanatisme kelompok akan
menjadi dasar bagi tiap kabilah untuk membela anggota kabilahnya yang dituntut
hukuman qishash meskipun umpamanya terbukti benar-benar terlibat.
Pada akhirnya penegakkan qishash itu malah
akan menimbulkan peperangan baru antar kabilah dari keluarga penuntut dengan
kabilah dari keluarga terdakwa. Karena perbedaan pandangan antara kedua kubu
itu, maka peperangan pun tidak dapat dihindari. Perang pertama antara dua kubu
muslim ini dikenal dengan sebutan Perang Jamal. Dikatakan Perang Jamal
karena saat itu Aisyah menaiki unta ketika berperang. Perang ini memakan banyak
korban. Ibnu Katsir menyebut kurang lebih dari sepuluh ribu orang dari kedua
belah pihak menjadi korban. Bahkan dua tokoh sahabat, Thalhah dan Zubair yang
oleh Rasulullah dijamin masuk surga, meninggal dunia.[4]
Pada hal saat itu, Thalhah dan Zubair telah
mengundurkan dari medan pertempuran dan menyesali sikapnya yang berlebihan
dalam menentang Ali.Perang itu sendiri dimenangkan oleh Ali bin Abi Thalib. Ali
beserta pengikutnya kemudian mengurusi para korban dan menyolatkannya. Sikap
Ali di atas menunjukkan bahwa peperangan itu bukanlah peperangan untuk
menentukan siapa mukmin siapa kafir. Buktinya Ali menyolati para korban dari
kedua pihak. Setelah mengurusi korban, menyolati dan menguburkannya, Pasukan
Ali dapat menguasai dan memenangkan peperangan, sementara Aisyah dalam
peperangan itu tertangkap. Ia memperlakukan Aisyah dengan perlakuan yang penuh
penghormatan dan setelah itu memulangkannya ke kota Madinah dengan penjagaan
yang sempurna dan terhormat.Sejak kejadian tersebut, Aisyah menghabiskan
umurnya untuk beribadah dan mengajarkan hadits kepada para penuntut ilmu di
Madinah. Iamenjauhkan diri dari hiruk pikuk percaturan politik yang terus
bergejolak sampai akhir hayatnya.Ia banyak merenung dan menyesali perbuatannya
karena ikut terlibat dalam peperangan.
Konflik Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah dan Kaum Khawarij
· Ali dengan Mu’awiyah
Saat Utsman terbunuh oleh para perusuh yang
mengepung rumahnya, Nailah, istri Khalifah Utsman bin Affan yang menyaksikan
dan sekaligus jadi korban kebrutalan para perusuh sehingga jari-jari tangannya
terputus. Ia segera menulis surat untuk Muawiyah di Syria yang menuturkan
kronologis pembunuhan Khalifah. Beserta surat ini dikirimkan juga barang bukti
berupa pakaian Utsman yang berlumuran darah dan jari-jari tangan Nailah
yangterpotong.[5]Barang bukti ini kemudian
digantungkan di atas mimbar Masjid Jami Syria. Para penduduk yang memang sangat
menghormati Utsman terharu melihat barang bukti itu, dan menuntut agar para
pelaku pembunuhan dihukum qishash. Keadaan semakin memanas, tatkala
datang utusan khalifah Ali bin Abi Thalib yang menuntut janji ketaatan (baiat)
terhadap Ali.
Ditambah lagi dengan keputusan Ali memecat
Muawiyyah menyebabkan kebanyakan penduduk di Syiria menangguhkan(bukan menolak)
pembaiatan terhadap Ali sebelum para pembunuh Utsman dikupas tuntas. Ada dua
alasan mengapa Muawiyyah tidak membaiat Ali bin Abi Thalib. Pertama,
bagi Muawiyah, tuntutan para pembunuh Utsman harus terlebih dahulu ditangkap
dihukum. Kedua, tak ada suara bulat dari kalangan terkemuka muslim (para
sahabat senior). Saat itu Muawiyyah berargumen, bahwa sikapnya yang menolak
untuk membaiat Ali tidak berarti dia berontak terhadap Imam, tetapi alasannya,
lebih-lebih karena tak ada suara bulat dari kalangan umat untuk membaiatnya. Telah disinggung sebelumnya, dan mengapa Ali
menangguhkan qishash terhadap pelaku pembunuh Utsman. Namun, mengapa
pihak Muawiyyah masih saja terus menuntut Ali untuk melakukannya, dan tidak mau
membaiatnya sebelum urusan pembunuhan Utsman dituntaskan. Ada dugaan saat itu
bahwa Ali berada di belakang para pemberontak yang membunuh Utsman. Apalagi
adanya sikap Ali yang menangguhkan pengusutan pembunuhan Utsman dan penegakkan
hukuman qishash.
Ali sendiri ketika menghadapi tantangan Muawiyah
telah melakukanberbagai cara. Ali selalu mengirim surat dan delegasi untuk
mengajak islah, mengajak Muawiyah memberi baiat terhadapnya. Namun,
usahanya tersebutselalu menemui jalan buntu. Bahkan, pernah satu ketika
Muawiyah membalassurat kepada Ali tanpa ada isinya selain basmalah. Tak
hanya itu, surat yangbersegel “Dari Muawiyah bin Abi Sufyan kepada Ali bin Abi
Thalib” tanpamenyebut gelar Amirul Mukminin.
Surat tersebut sebenarnya memberi indikasi bahwa
konsilidasi, negosiasi dan rekonsiliasi yang diinginkan Ali kepada Muawiyah
kecil kemungkinan berhasil. Ali akhirnya mengambil langkah untuk melakukan
tindakan kepada Muawiyyah. Sebelum mengambil tindakan, Ali terlebih dahulu
meminta persetujuan dari para sahabat yang ada di Madinah waktu itu. Sikap
sahabat pun terbagi tiga kelompok; ada yang antusias mendukung Ali, seperti Abu
Qatadah, Ammar bin Yasir, dan Umu Salamah. Ada juga yang tidak setuju dan
menyarankan agar rencana itu dipertimbangkan terlebih dahulu. Ada yang bersikap
diam dan memilih menyingkir dari rencana ini seperti Saad bin Abi Waqqas, Suhaib
bin Sinan, Muhammad bin Maslamah dan Abdullah bin Umar. Ibnu Abbas dan Mughirah
bin Syu’bah tatkala itu bahkan menyarankan agar Ali tidak tergesa-gesa dan
membiarkan Muawiyah pada jabatannya untuk beberapa lama sehingga suhu politik
mereda terlebih dahulu. Namun saran dari kedua sahabat dekatnya itu, dirasa
kurang tepat. Justru jika Muawiyah terus dibiarkan memimpin, dia khawatir
kelompok opisisi di Syiria akan semakin banyak dan kuat karena pengaruh
Muawiyah.[6]
Singkatnya, peperangan antara kubu Ali dengan
Muawiyah dalam waktu yang tidak lama lagi akan terjadi. Tepat pada akhir bulan
Dzulqaidah tahun 36 H, Ali memutuskan untuk bergerak menuju Syam dengan
kekuatan pasukan sekitar seratus ribu hingga seratus lima puluh ribu personil.
Rencana Ali itu sampai pada Muawiyah, dan segera setelah itu Muawiyah pun
menyiapkan pasukan dengan kekuatan sembilan puluh ribu hingga seratus lima
puluh ribu personil. Kedua pasukan tersebut akhirnya bertemu di Shiffin,suatu
tempat di lembah sungai Efrat yang menjadi perbatasan Irak dan Syiria. Perang
pun terjadi, kedua pasukan itu berperang sepanjang bulan Dzulhijah tahun 36 H.
Kemudian terselingi gencatan senjata selama bulan Muharram awal tahun 37 H.
Peperangan dilanjutkan kembali awal bulan Shafar dengan sangat hebatnya kerena
kedua belah pihak sudah tidak lagi ingin mengakhiripertempuran yang sudah
sangat melelahkan itu. Tragedi ini merupakan malapetaka amat besar yang patut
disesalkan. Saat perang dahsyat itu berkecamuk, pasukan Ali hamper saja
memenangkan pertempuran. Tercatat 7.000 orang Islam gugur.[7]Sedang
luka korban fisik tidak terhitung.
Pada minggu kedua dari bulan Safar, pasukan
Muawiyah mulai terdesak, sementara pasukan Ali berada di atas angin. Muawiyah
yang sudah berpengalaman dalam bidang politik dan peperangan, akhirnya
menyuruhbeberapa pasukannya untuk mengangkat Mushap al-Quran sebagai isyarat
untuk menghentikan pertempuran. Melihat itu, kubu Ali terbagi kepada dua
bagian. Ada yang menyarankan Ali untuk tidak menerima penghentian pertempuran
sebelum ada pihak yang kalah dan menang. Ada juga yangmenyuruh Ali untuk
menerimanya.Meskipun di kubu Ali waktu itu terbagi kepada dua kelompok, namun
akhirnya mereka sepakat untuk mengakhiri pertempuran dan melakukan perundingan
damai (tahkim). Perundingan tersebut dilakukan dengan cara masing-masing
kubu mengirim delegasinya sebagai juru rundingnya. Pihak Muawiyah menunjuk Amr
bin Ash. Sedangkan dari pihak Ali mengajukanAbu Musa al-Asy‟ari sebagai juru
runding.[8]Perundingan tersebut rencananya
akan dilaksanakan pada bulan Ramadhan di tempat Adzrah, daerah Daumatul Jundal
yang menjadi wilayah perbatasan Irak dan Syam.
Banyak riwayat yang dituturkan pada kitab-kitab
tarikh bahwa Abu Musa dan Amr saat itu sepakat melepaskan jabatan khilafah dari
Ali maupun dari Muawiyah dan mengembalikannya kepada Syura kaum muslimin.
Tetapi saat pembacaan keputusan Amr yang berbicara belakangan menghianati
kesepakatan dengan menetapkan Muawiyah sebagai Khalifah karena Ali telah
diberhentikan oleh Abu Musa. Maka terjadilah kekacauan di arena persidangan.
Abu Musa mengecam Amr yang telah khianat sebagai anjing yang menjulurkan
lidahnya. Amr balik menghina Abu Musa dengan menyindirnya sebagai keledai yang
memikul kitab. Gagallah misi perundingan. Abu Musa mengasingkan diri ke Mekah
karena malu kepada Ali. Sementara Amr bergabung dengan Muawiyah dan mendapat
kedudukan yang terhormat di hadapannya.
· Ali dengan Kaum Khawarij
Setelah proses tahkim berakhir hasil perundingan
tentu saja dimenangkan oleh Muawiyah,sedangkan kelompok Ali terbelah menjadi
dua. Ada yang tetap mendukung Ali dengan setia. Ada yang keluar dan menyudutkan
posisi Ali. Kelompok kedua inilah yang disebut sebagai kaumkhawarij. Kelompok
ini merasa kecewa dengan keputusan Ali yang menerima tahkim.
Setelah proses tahkim selesai, dengan rasa kecewa,
sekitar 12.000 orang pulang menuju Kuffah. Mereka membuat markas militer
tersendiri di Harura. Mereka mengecam Ali dan menuduhnya telah berbuat kufur
serta syirik karena menyerahkan ketetapan hukum kepada manusia. Padahal menurut
mereka hukum itu hanya milik Allah. Mereka berpendapat bahwa perkara yang
terjadi antara Ali dan Muawiyah seharusnya tidak boleh diputuskan oleh
arbitrase (tahkim) manusia. Putusan hanya dari Allah dengan kembali kepada
hukum-hukum yang ada dalam al-Quran.
Ketika Ali sedang berkhutbah Jum’at, sebagian orang
Khawarij meneriakinya dengan kata-kata, “tidak ada hukum selain milik Allah”.
Ali mengancam mereka, “Aku tidak melarang kalian datang ke mesjid kami dan kami
tidak akan menindak kalian selama kelian tidak berbuat terlebih dahulu
memerangi kami”. Tetapi mereka semakin agresif menyudutkan Ali dan
mengampanyekan pahamnya dengan slogan “hukum itu hanya
milik Allah.” Ali mengajak mereka berdialog dan berdebat tentang masalah
tahkimitu secara fair dengan hati yang tenang dan akal yang jernih. Ibnu Abbas
ditugaskan mendebat kaum Khawarij dan ribuan dari mereka mau kembali bergabung
dengan Ali setelah menyadari kekeliruan pendapat mereka dan bahwa pendapat Ali
itulah yang benar. Tetapi sebagian dari mereka tetap bersikukuh pada
pendiriannya dan membentuk kelompok sendiri. Abdullah bin Wahab Ar Rasyibi
ditunjuk sebagai panglima perang mereka. Ali terpaksa menumpas kaum Khawrij
dengan kekuatan pedang setelah nyata kepadanya bahwa mereka tidak dapat diajak
dialog dan kompromi. Terlebih lagi setelah terbukti gerakan Khawarij
menimbulkan kekacauan baru dengan membunuh siapa saja yang tidak mau
mempersalahkan Ali, sehingga putra seorang sahabat Nabi, Abdullah bin Khabbab
dan istrinya yang sedang hamil menjadi korban pembantaian mereka. Ali menumpas
mereka pada perang Nahrawan dan Harura. Tetapi kehancuran pasukan Khawarij
tidak mebuat mereka surut.
Bagaimana pun kaum Khawarij tidak tinggal diam.
Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada mereka terus melakukan serangan kepada kelompok
Ali dan kelompok Muawiyah, Amr bin ‘Ash dan Abu Musa al-Asy’ari, yaitu
orang-orang yang terlibat dalam tahkim. Atas dasar ayat al-Quran diatasmereka
menetapkan bahwa keempat orang ini telah menjadi kafir dan harus dibunuh. Oleh
sebab itu membuat rencana untuk membunuh orang-orang yang terlibat tahkim itu.
Dalam menjalankan tugas itu mereka membagi tugas dan menetapkan bagaimana cara
pelaksanaan eksekusi itu. Mereka merencanakan pelaksanaan eksekusi serentak
pada waktu subuh. Waktu ini dipilih ketika semua mereka itu keluar untuk
menjalankan shalat subuh. Ketika waktunya tiba setiap petugas turun dan
ternyata yang berhasil adalah pembunuh Ali yang bernama Abdurahman bin Muljam.[9]Ali wafat seketika, sedangkan
yang
ditugasi membunuh Mu’awiyah, Amr bin Ash dan Abu Musa al-Asya’ri gagal
sehingga yang wafat hanyalah Ali bin Abi Thalib saja. Wafatnya Ali bin Abi
Thalib maka berakhirlah pola kepemimpinan Khalifah Rasyidin. Kemudian
diserahkan kepada Hasan.[10]Hal itu
membukababak baru bagi sistem pemerintahan dalam Islam dari sistem khilafah
menjadi sistem kerajaan. Sistem yang tersebut terakhir berjalan dalam masa yang
cukup lama.
ANALISIS
Situasi Politik Pada Masa Ali bin
Abi Thalib
Sebagaimana perkara yang yang diungkapkan diatas
bahwa Aisyah tidak setuju Ali menjadi Khalifah pengganti Utsman akan tetapi
Aisyah berpendapat bahwa yang berhak menjadi Khalifah adalah Thalhah bin
Ubaidillah. Kemudian berbeda dengan sahabat senior yaitu Thalhah dan Zubair
yang pada mulanya mereka membai’at Ali tetapi di akhir kisah mereka
bersekongkol untuk memerangi Ali. Mereka juga menginginkan kedudukan sebagai
Khalifah akan tetapi rakyat Madinah tidak memihak kepada mereka, maka dari itu,
ada kecemburuan terhadap Ali di samping mereka juga menuntut tragedi pembunuhan
Utsman kepadanya. Begitu pula halnya dengan Mu’awiyah bin Abu Sofyan yang
sangat menginginkan jabatan kekhalifahan, dengan berbagai pengalaman yang ia
miliki sebagai politikus dan administrator yang pandai, wajar saja Umar
memilihnya sebagai Gubernur Syam pada waktu itu, akan tetapi ketika di masa
Ali, Mu’awiyah dilengserkan dari kedudukannya, maka dari itu Mu’awiyah membuat
siasat untuk menjatuhkan Ali, dengan dalih menuntut pembunuhan Utsman.
Kemudian persoalan munculnya kaum khawarij, tidak
terlepas dari persoalan agama dan politik dimana ketika terjadinya tahkim
antara kelompok Ali dengan Mu’awiyah, kelompok ini beranggapan bahwa itu tidak
sesuaidengan nash-nash al-Quran dan mengkafirkan pelaksananya. Setelah mereka
keluar dari kelompok Ali, maka mereka dikenal dengan istilah kaum Khawarij.
Mereka juga berambisi untuk merebut kekuasaan Khalifah Ali bin Abi Thalib pada
waktu itu, karena dianggap pemerintahan yang tidak sesuai lagi dengan al-Quran
dan sunnah dan ingin mendirikan negara sesuai dengan pendapat mereka yang
dianggap benar. Maka dari itu, konflik-konflik yang terjadi pada masa Khalifah
Ali bin Abi Thalib sangat kental dengan fenomena politik. Dan tak terlepas pula
dari unsur-unsur lain seperti hukum (qishash) maupun agama.
PENUTUP
Kesimpulan
Berbagai langkah dan kebijakan yang telah dilakukan
Ali dalam rangka menjalankan roda pemerintahannya, merupakan ijtihad politik
yang sangat cemerlang. Meskipun pada akhirnya, kebijakan tersebut banyak
memakan korban. Di lain sisi, kita juga tidak bisa menyalahkan Aisyah, Thalhah
dan Zubair ketika melakukan penentangan terhadap Ali. Karena latar belakang
penentangan mereka juga berdasarkan pada nash al-Quran yang dapat dipertanggung
jawabkan. Apa yang dilakukan oleh Aisyah dan pengikutnya saat itu, juga didasarkan
pada ijtihad politik. Baik Aisyah, Thalhah maupun Zubair tujuannya satu,
memberikan nasihat kepada Ali sebagai pemimpin untuk menjalankan al-Quran dan
Sunnah. Hanya saja, cara yang ditempuh oleh mereka seperti itu. Sikap yang sama
juga harus kita berikan terhadap Mu’awiyah.
Mereka semua tidak pernah mengkafirkan antara
sesama. Mereka hanya berbeda dalam cara menempuh menegakkan kebenaran. Maka
kita juga tidak mengkafirkan seperti yang dilakukan khawarij. Sedangkan sikap
kita terhadap khawarij (nenek moyang wahabi), meskipun argumen Khawarij tegas
mengacu kepada nash Al Quran, tetapi mengarahkan makna ayat tersebut kepada
kasus Tahkim Ali dan Muawiyah adalah interpretasi mereka yang sangat
dangkal. Langkah kaum Khawarij yang menyeret tindakan para pelaku konflik
politik ke dalam paradigma teologis yang kaku dan ekstrim, sehingga menyebabkan
mereka dengan sewenang-wenang menilai dan menetapkan hukum kafir atau muslim
kepada siapa yang mereka kehendaki, menjadi salah satu faktor penyebab
munculnya pemikiran teologi tandingan seperti Syiah yang mengkafirkan semua
lawan politik Ali. Dan pada gilirannya melahirkan pemikiran “poros tengah” yang
menolak menetapkan hukum atau status kafir terhadap seseorang yang telah
menyatakan dirinya muslim hanya karena tindakan-tindakan politiknya. Bagi
mereka, semua status keimanan seseorang diserahkan kepada Allah saja, sebab
manusia hanya bisa menilai seseorang dari perbuatan lahiriyahnya saja,
sementara hakikat iman ada pada hati dan niat tindakan para pelaku itu sendiri.
Terakhir, konflik yang terjadi diantara sahabat
nabi merupakan sunnatullah yang bisa terjadi kepada siapa, dimana dan kapan
saja. Semua itu, merupakan pelajaran berharga bagi umat Islam di kemudian hari.
Jika sahabat saja, yang oleh al-Quran disebut khair al-Ummah, bisa
mengalami konflik, apalagi kita. Namun bagaimana seharusnya kita menyikapinya
secara positif agar tidak menimpa kita.
DAFTAR PUSTAKA
Bukhori, D.S.
2009. Sejarah Politik Islam.Jakarta: Pustaka Intermassa
Ghazali,
Muchtar. 2004. Perjalanan Politik Umat Islam. Bandung: Pustaka Setia
Katsir,
Ibnu.2004. Al-Bidayah Wan Nihayah, Masa Khulafa’ur Rasyidin. Jakarta:
Darul Haq
Suyuti. 1993. Fiqh
Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: Raja Grapindo Persada
Saefuddin,
B.D.2009. Sejarah Politik Islam. Jakarta: Pustaka Intermassa
Yatim,
Badri.1996. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Press
Zainudin,
A.H.J. 2008. Akar Konflik Umat Islam. Bandung: Persis Press
[1] Dr. J. Suyuthi. Ma.Pt, Fiqh SiyasahAjaran, Sejarah dan
Pemikiran, Raja Grapindo Persada,Jakarta,
1993, hlm. 154
[2] Adeng Muchtar Al Ghazali, Perjalanan Politik Umat
Islam, Pustaka Setia,Bandung,
2004, hlm. 23
[3] Jeje Zainudin, hlm. 90
[4]Ibnu Katsir, Al-Bidayah
Wan Nihayah, Masa Khulafa’ur Rasyidin, Jakarta: Darul Haq,
2004. hlm. 254
[5] Jeje Zainudin, Akar Konflik Umat Islam, Bandung: Persis Press, 2008. hlm. 98
[6]Abbas Mahmud al-Aqqad, hlm. 70
[7] Didin Saefudin Buchori, Sejarah Politik Islam. Jakarta: Pustaka Intermassa, 2009. hlm. 45
[8] Didin Saefudin Buchori, Sejarah Politik Islam. Jakarta: Pustaka Intermassa, 2009.hlm. 45
[9]Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam. Jakarta: Pustaka Intermassa, 2009.hlm. 46
[10]Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam. Jakarta: Pustaka Intermassa, 2009.hlm. 46
No comments:
Post a Comment